Senin, 09 Januari 2012

jual beli

1.    Pengertian Jual Beli.
Secara linguistic, alba’i( jual beli) berarti pertukaran sesuatu dengan sesuatu. Secara istilah menurut madhab Hanafiyah, jual beli adalah pertukaran harta( mal) dengan harta dengan menggunakan cara tertentu. Pertukaran harta dengan harta di sini, diartikan harta yang memiliki manfaat serta terdapat kecenderungan manusia untuk menggunakannya, cara tertentu yang di maksud adalah sighot atau ungkapan ijab dan qobul.
Jual beli menurut ulama malikiyah ada dua macam, yaitu jual beli yang bersifat umum dan jual beli yang bersifat khusus.
 Jual beli dalam arti umum ialah suatu perikatan tukar menukar sesuatu yang bukan kemanfaatan dan kenikmatan, perikatan adalah akad yang mengukat dua belah pihak, tukar menukar yaitu salah satu pihak menyerahkan ganti penukaran atau sesuatu yang di tukarkan oleh pihak lain.dan sesuatu yang bukan manfaat ialah bahwa benda yang di tukarkan adalah dzat( berbentuk), ia berfungsi sebagai obyek penjualan, jadi bukan manfaatnya atau bukan hasilnya.
 Jual beli dalam arti khusus ialah ikatan tukar menukar sesuatu yang bukan kemanfaatan dan bukan kelezatan yang mempunyai daya tarik, pertukaran bukan emas atau perak bendanya dapat di realisir dan ada seketika ( tidak ditangguhkan), tidak merupakan hutang baik barang itu ada dihadapan si pembeli maupun tidak, barang yang sudah diketahui sifat sifatnya atau sudah diketahui terlebih dahulu. 


2.  Rukun dan  Syarat jual beli
Rukun jual beli
Rukun jual beli ada tiga, yaitu akad ( ijab qobul), orang yang berakad ( penjual dan  pembeli) , dan ma’kud alaih( obyek akad).
Transaksi jual beli di anggap sah apabila dilakukan dengan ijab qobul, kecuali barang barang kecil, yang hanya cukup dengan mua’thaah ( saling memberi) sesuai adat dan kebiasaan yang berlaku pada masyarakat tersebut.
Tidak ada kata kata khusus daam pelaksanaan ijab qobul karena ketentuannya tergantung pada akad sesuai dengan tujuan dan maknanya bukan berdasarkan kata kata dan bentuk kata tersebut.
Yang diperlukan adalah saling rela( ridho), direlisasikan dalam bentuk mengambil dan memberi atau cara lain yang dapat menunjukan keridhoan dan berdasarkan makna pemilikan dan mempermilikan, seperti ucapan penjual: aku jual, aku berikan, aku milikan atau ini menjadi milikmu atau berikan harganya dan ucapan pembeli: aku beli, aku ambil, aku terima , aku rela atau ambilah harganya.
Syarat-syarat shighot
Disyaratkan dalam ijab dan qobul yang keduanya disebut shighot akad, sebagai berikut:
a.    Satu sama lainnya berhubungan satu tempat tanpa ada pemisahan suatu tempat.
b.    Ada kesepakatan ijab dengan qobul pada barang yang saling mereka rela berupa barang yang dijual dan harga barang. Jika sekiranya kedua belah pihak tidak sepakat, jual beli ( akad) tidak sah.
c.    Ungkapan harus menunjukan masa lalu seperti perkataan penjual aku telah beli dan perkataan pembeli aku telah terima.atau masa sekarang jika diinginkan pada waktu itu juga.seperti: aku sekarang jual dan aku sekarang beli. Jika yang diingini masa yang akan datang atau terdapat kata yang menunjukan masa datang dan semisalnya, maka hal itu baru merupakan janji untuk berakad. Janji untuk berakad  tidak sah sebagai akad sah, karena itu menjadi  tidak sah secara hukum. 
d.    Jangan diselangi dengan kata kata lain antara ijab dan qobul.
e.    Beragama Islam, syarat ini khusus untuk pembeli saja dalam benda benda tertentu, seperti seseorang menjual hambanya yang beragama Islam kepada pembeli yang beragama bukan Islam.
 Akad dengan mengutus orang lain

istishab

A.    Pengertian Istihsan
Istihsan menurut bahasa berarti menganggap baik atau mencari yang baik . Sedangkan menurut istilah, Ulama’ Ushul fiqh mendefinisikan berbeda-beda sesuai dengan tinjauannya masing-masing dan kemampuannya dalam menyimpulkan pengertian “istihsan”  . Di antaranya adalah;
- Dari Ulama’ madzhab Hanafy;
•    Menurut al-Bazdawiy,
“Istihsan adalah meninggalkan keharusan menggunakan Qiyas dan berpindah kepada qiyas yang lebih kuat atau mentahksis Qiyas dengan dalil yang lebih kuat dari Qiyas tadi”.
•    An-Nafisy mendevinisikan;
“Istihsan adalah meninggalkan suatu qiyas menuju pada qiyas yang lebih kuat atau istihsan ialah dalil yang berlawanan dengan qiyas jally.
- Menurut ulama’ Madzhab Maliky:
•    Ibnu ‘Araby mendevinisikan;
“Istihsan meninggalkan ketetapan dalil dengan cara mengecualikan dan meringankan karena ada pertentangan yang menentangnya di dalam sebagian ketetapannya.”.
•    Menurut Ibnu Rusdy:
Istihsan adalah meninggalkan suatu qiyas yang membawa kepada yang berlebih-lebihan atau melampui batas di dalam hukum dan berpindah kepada hukum lain yang merupakan kekecualian.
•    As-Syathiby menyatakan;
“Istihsan menurut pendapatku dan menurut pendapat ulama’-ulama’ Hanafiyah adalah beramal dengan dalil yang lebih kuat di antara dua dalil”.

-    Dari Ulama’ Hanbaliyah memberikan devinisi:
“Devinisi istihsan yang baik adalah perpindahan dari suatu hukum tentang suatu kasus karena ada dalil syara’ yang khusus” .
Dari definisi-definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa mereka sepakat untuk menerima 2 hal:
o    Ahli ushul fiqh dari madzhab Hanafiy dan Hambaly, sekalipun berbeda di dalam memformulasikan kata-katanya, namun mereka sepakat bahwa istihsan adalah perpindahan dari suatu hukum karena adanya hukum yang lebih kuat.
o    Perpindahan ini kadang-kadang dari hukum yang dihasilkan dengan menggunakan umumnya nash dan kadang-kadang dari hukum yang dihasilkan dengan menggunakan qiyas dan kadang-kadang dari hukum yang merupakan penerapan kaida-kaidah yang kulliyah.                                                 
Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa istihsan adalah perpindahan dari suatu hukum yang ditetapkan oleh dalil syara’ dalam suatu kasus tertantu kepada hukum lain. Karena adanya dalil syara’ yang mengharuskan perppindahan sesuai dengan jiwa syari’at islam.
Dalil syara’ yang menetapkan perpindahan disebut sanad istihsan, atau dengan singkat dapat didefinisikan bahwa al-istihsan adalah “menguatkan suatu dalil atas dalil lain yang berlawanan dengan tarjih yang diakui oleh syara’.  
Ditinjau dari pengertian istihsan menurut ulama ushul fiqih di atas, maka istihsan itu terbagi atas dua macam, yaitu:
    Pindah dari qiyas jali kepada qiyas khafi, karena ada dalil yang mengharuskan perpindahan itu.
    Pindah dari hukum kulli kepada hukum juz’i, karena ada dalil yang mengharuskannya istihsan macam ini oleh madzhab Hanafy disebut istihsan darurat, karena penyimpangan itu dilakukan karena suatu kepentingan darurat.

Al-Mashlahah Al-Mursalah

2.1    Pengertian Al-Mashlahah Al-Mursalah
Secara etimologi, kata al-mashlahah sama dengan kata al-manfa’at, baik dari segi lafal maupun makna. Mashlahah juga berarti manfa’at atau suatu perbuatan yang mengandung nilai baik atau manfa’at.  Sedangkan kata mursalah berarti terputus atau terlepas.
 Secara terminologi al-mashlahah al-mursalah adalah suatu kemaslahatan yang tidak disinggung oleh syara’ dan tidak pula terdapat dalil-dalil yang menyuruh untuk mengerjakan atau meninggalkannya. Sedang jika dikerjakan akan mendatangkan kebaikan atau kemaslahatan yang besar.
Adapun prinsip al-mashlahah al-mursalah ialah menarik manfa’at dan menghindarkan kerusakan (mafsadat) bagi kehidupan umat manusia. Menutut Abdul Wahhab Kallaf , seorang pakar ushul fiqih Mesir, metode al-mashlahah al-mursalah dalam praktek ijtihat merupakan upaya penggalian hukum Islam dari suatu kasus yang tidak ada ketetapannya dalam nash Al-Qur’an dan hadits yang menguatkan atau membatalkannya atas dasar kemaslahatan agar hidup manusia terbebas dari kesulitan.
Imam Al-Ghazali mengemukakan bahwa pada prinsipnya al-mashlahah adalah mengambil manfaat dan menolak kemudaratan dalam rangka memelihara tujuan-tujuan syara’. Suatu kemaslahatan harus sejalan dengan tujuan syara’ meskipun bertentangan dengan tujuan-tujuan manusia, karena kemaslahatan manusia tidak selamanya didasarkan kepada kehendak syara’ tapi sering didasarkan pada kehendak hawa nafsu.
Abu Zahrah mendefinisikannya dengan suatu mashlahah yang sesuai dengan maksud-maksud pembuat hukum (Allah) secara umum, tetapi tidak ada dasar secara khusus menjadi bukti diakui atau tidaknya.
Adapun al-mashlahah al-mursalah menurut Imam Malik sebagainama analisis Al-Syatibi adalah suatu maslahah yang sesuai dengan tujuan, prinsip dan dalil-dalil syara’ yang berfungsi untuk menghilangkan kesempitan, baik yang bersifat dhaririyat maupun hajjiyat.
Maslahah mursalah lazim disebut dengan istihlah, merupakan salah satu cara dalam menetapkan hukum bagi masalah-masalah yang ketetapan hukumnya tidak disebutkan di dalam nas dengan pertimbangan untuk kemaslahatan hidup manusia. Jadi pembentukan hukum dengan cara maslahat mursalah semata-mata untuk mewujudkan kemaslahatan manusia, dengan arti untuk mendatangkan manfa’at dan menolak kemudharatan serta kerusakan bagi manusia.

2.2 Objek Al-Mashlahah Al-Mursalah
Dengan memperhatikan beberapa penjelasan diatas, dapat diketahui bahwa lapangan al-mashlahah al-mursalah selain yang berdasarkan pada hukum syara’ secara umum, juga harus diperhatikan adat dan hubungan antara satu manusia dengan yang lain, lapangan tersebut merupakan pilihan utama untuk mencapai kemaslahatan. Dengan demikian segi ibadah tidak termasuk dalam lapangan tersebut.
Imam Al-Qarafi Ath-Thufi menerangkan bahwa al-mashlahah al-mursalah itu sebagai dasar untuk menetapkan hukum dalam bidang mu’amalat, sedang masalah ibadah adalah hak Allah SWT untuk menetapkan hukumnya.
Secara ringkas dapat dikatakan bahwa objek al-mashlahah al-mursalah ialah kejadian atau peristiwa yang perlu ditetapkan hukumnya tetapi tidak ada satupun nash (Al-Qur’an dan Hadits) yang dapat dijadikan sebagai hukum dasar.
Untuk bisa menjadikan al-mashlahah al-mursalah sebagai dalil dalam penetapan hukum, diperlukan persyaratan-persyaratan penggunaan maslahat agar tetap ada dalam nilai-nilai syari’ah.  Ulama Malikiyah dan Hanabilah mensyaratkan tiga syarat,  yaitu:
1.    Kemaslahatan ini tidak boleh bertentangan dengan hukum syara’ atau dasar yang ditetapkan dalam nash atau ijma’. Kemaslahatan itu harus sejalan dengan kehendak syara’.
2.    Kemaslahatan itu bersifat riil (hakiki) dan pasti, bukan sekedar perkiraan atau bersifat dugaan, maksudnya, maslahah yang didasarkan atas penelitian, observasi, dan analisis yang mendalam, sehingga hukum yang ditetapkan melalui al-mashlahah al-mursalah itu benar-benar menghasilkan manfaat dan menghindari kemudaratan.
3.    Berupa kemaslahatan umum, bukan kemaslahatan pribadi. Artinya penetapan hukum syara’ itu dapat menarik manfaat bagi mayoritas umat manusia (umum), bukan untuk kepentingan pribadi atau kelompok kecil tertentu.

2.1    Tingkatan-Tingkatan Al-Maslahah
Dilihat dari segi kualitas dan kepentingan kemaslahatan itu, para ahli ushul fiqih membaginya menjadi tiga tingkatan , yaitu:
1. Tingkat Dharuriyyat
Dharuriyat adalah kemaslahatan yang berhubungan dengan kebutuhan pokok umat manusia didunia dan akhirat, kemaslahatan ini ada lima. Yang mana lima hal ini kemudian dalam terminologi ushul fiqh disebut dengan kulliyat khomsah. Diantaranya:
    Memelihara Agama
Memeluk suatu agama merupakan fitrah dan naluri insani yang tidak bisa diingkri dan sangat dibutuhkan umat manusia. Untuk kebutuhan tersebut Allah mensyari’atkan agama yang wajib dipelihara oleh setiap orang, baik yang berkaitan dengan ibadah, aqidah, maupun mu’amalah, yakni dengan cara mengerjakan arkanul Islam. Memelihara agama dari fitnah musuh, baik dari orang murtad, orang zindik, serta orang-orang non muslim. Dalil memelihara agama terdapat pada surat Al-baqarah : 21
 ••          
Artinya “ Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang Telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa”.

    Memelihara Jiwa
Hak hidup juga merupakan hak paling asasi bagi setiap manusia. Untuk kemaslahatan dan keselamatan jiwa dalam kehidupan, Allah mensyari’atkan berbagai hukum yang terkait dengan hal itu. Seperti syari’at “ Qishos” yang bertujuan untuk menjaga eksistensi jiwa manusia, karena dengan hukum qishos dengan demikian tindakan pidana tidak akan terulang kembali. Ayat yang berhubungan dengan pemeliharaan jiwa terdapat dalan surat al-an’am : 151
                             •         •            

Artinya : Katakanlah: "Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Tuhanmu yaitu: janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat baiklah terhadap kedua orang ibu bapa, dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu Karena takut kemiskinan, kami akan memberi rezki kepadamu dan kepada mereka, dan janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang nampak di antaranya maupun yang tersembunyi, dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar. demikian itu yang diperintahkan kepadamu supaya kamu memahami(nya)”.

    Memelihara Akal Pikiran
Akal merupakan sasaran yang menentukan bagi seseorang dalam menjalani hidup dan kehidupan. Oleh karena itu Allah menjadiakan pemeliharaan akal sebagai suatu yang pokok. Antara lain Allah melarang meminum-minuman keras karena minuman itu bisa merusak akal. Dan untuk kepentingan pemeliharaan akal maka disyari’atkan untuk melaksanakan ijtihat memikirkan ciptaan Allah SWT. Ayat yang berhubungan dengan akal terdapat dalam surat al-maidah : 38
              

Artinya : “Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.

    Memelihara Keturunan
Berketurunan merupakan masalah pokok bagi manusia dalam memelihara kelangsungan hidup manusia dimuka bumi. Untuk tujuan ini Islam mengatur pernikahan dan mengharamkan perzinahan. Selain itu Islam juga melarang umatnya menikah dengan agama lain jika hal ini dipandang akan merusak pemeliharaan agama. Ayat yang berkaitan dengan masalah ini terdapat dalam surat Al-baqarah : 221
                              •     •      ••   

Artinya ”Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran”.

    Memelihara Kehormatan dan Harta
Untuk kepentingan ini maka dihubungkan aturan mencari rizki, seperti konsep-konsep yang termuat dalam mu’amalah antar manusia, dan mengharamkan segala bentuk penipuan, pencurian, dan sebagainya. Allah juga mensyari’atkan hukuman bagi pencuri dan perampok, karena harta merupakan asas kehidupan, sumber kekuatan dan kewibawaan individu. Ayat-ayat yang menjelaskan hal ini terdapat dalam surat Al-baqarah : 188
             ••    

Artinya “Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu Mengetahui”.

2. Maslahah Hajiyat
Hajjiyat dalam ushul fiqh merupakan kemaslahatan yang dibutuhkan dalam menyempurnakan kemaslahatan pokok sebelumnya yang berbentuk keringanan untuk mempertahankan dan memelihara kebutuhan mendasar manusia, misal dalam bidang ibadah diberi keringanan meringkas shalat dan berbuka puasa bagi musyafir. Sedang dalam bidang mu’amalah diperbolehkan jual beli, kerjasama dalam pertanian dan perkebunan, semuanya itu disyari’atkan Allah untuk mendukung kebutuhan mendasar  diatas.
Hajiyat bersifat komplementer, mengingat bahwa maqasid syari’ah sebenarnya bisa terwakili oleh dharuriyat. Demikian juga untuk memelihara kelangsungan hidup, hajiyat membolehkan berburu dan memekan hewan-hewan yang halal. Dan untuk menjaga harta hajiyat membolehkan akad salam(pesanan), qiradl (memutar modal dengan membagi keuntungan bersama).

3. Maslahah tahsiniyyah
Ialah kemaslahatan yang sifatnya pelengkap berupa keleluasaan yang dapat melengkapi kemaslahatan sebelumnya. Misalnya, dianjurkan untuk memakan makanan yang bergizi, melakukan ibadah sunnah sebagai amalan tambahan, dan berbagai jenis cara menghilangkan najis dari badan manusia.

Diantara contoh al-mashlahah al-mursalah yang lain adalah usaha khalifah Abu Bakar  mengumpulkan Al-qur’an yang terkenal dengan jam’ul Qur’an. Pengumpulan Al-Qur’an ini tidak disinggung sedikitpun oleh syara’ tidak ada nash yang memerintahkan dan tidak ada nash yang malarangnya. Umar bin Khattab melihat kemaslahatan yamg sangat besar dalam pengumpulan al-qur’an itu, bahkan menyangkut kepentingan agama. Seandainya tidak dikumpulkan dikhawatirkan Al-Qur’an akan hilang dari permukaan dunia nanati. Karena itu Khalifah Abu bakar menerima anjuran Umar dan melaksanakannya.


Kehujjahan Maslahah
Penerimaan Imam Malik dan Pandangan Para ulama
Beberapa pendapat ulama dalam kitab ushul tentang al-mashlahah al-mursalah.
1.    Al-amidi berkata dalam kitab Al-Ihkam, “para ulama’ dari golongan Syafi’i, Hanafi dan lain-lain telah sepakat untuk tidak memegang kepada istihlah.
2.    Imam Asy-Syatibi berkata dalam kitab Al-Istifham, pendapat tentang adanya mashlahah al-mursalah telah didebatkan dikalangan ulama
a).Al-Qadhi dan beberapa ahli menolaknya dan menganggapnya sebagai    sesuatu yang tidak ada dasarnya.
b).Imam Malik menganggapnya ada dan memekainya secara mutlak.
c).Imam Al-Ghazali berpendapat bahwa bila kecocokannya itu ada dalam tahap tahsin atau tajayyun (perbaikan), tidaklah dipakai sampai dalil yang lebih jelas, adapun jika berada pada mertabat penting maka boleh memakainya tapi harus memenuhi beberapa syarat.
Sebagaimana yang telah dijelaskan, bahwa al-mashlahah al-mursalah merupakan permasalahan yang menjadi bahan perdebatan dikalangan para ulama. Ada pendapat yang membenarkan al-mashlahah al-mursalah sebagai dasar istihlah dengan alasan masyarakat selalu berkembang. Jika timbul masalah, maka harus diselesaikan berdasarkan prinsip al-mashlahah al-mursalah. Pendapat ini didukung oleh kebanyakan usul fiqih, di antaranya Imam Malik dan Imam Hanbali.  Dengan alasan Allah mengutus utusan-utusannya untuk membimbing umatnya kepada kemaslahatan manusia, maka jelaslah bagi kita bahwa maslahah itu satu hal yang dikehendaki oleh syara’ dan agama. Mengingat hukum Allah diadakan adalah untuk kepentingan umat manusia baik dunia maupun akhirat
Sedangkan pendapat yang kedua,didukung oleh Abu Hanifah dan Imam Syafi’i, menolak al-mashlahah al-mursalah sebagai hujah. Alasannya karena nash telah menjelaskan pedoman hidup manusia dan syari’at Allah dengan tegas dan lengkap 

KESIMPULAN

1.    Secara etimologi al-mahlahah al-mursalah adalah sama dengan kata manfaat. Juga dapat berarti suatu perbuatan yang mengandung nilai baik atau bermanfaat. Secara terminologi adalah suatu kemaslahatan yang tidak disinggung oleh syara’ dan tidak pula terdapat dalil-dali yang manyuruh untuk mengerjakan atau meninggalkannya, jika dikerjakan akan mendatangkan kebaikan yang besar dan menghindari kemudharatan.
2.    Objek al-mashlahah al-mursalah kejadian atau peristiwa yang perlu ditetapkan hukumnya, tapi tidak ada satupun nash yang dapat dijadikan sebagai hukum dasar. Al-mashlahah al-mursalah itu sebagai dasar untuk menetapkan hukum dalam bidang mu’amalat saja, dengan demikian, bidang ibadah tidak termasuk lapangan dari al-mashlahah al-mursalah.
3.    Macam-macam mashlahah :
a). Mashlahah al-dharuriyyah, yang dibagi menjadi 5.
    Memelihara Agama
    Memelihara Jiwa
    Memelihara Akal
    Memelihara Keturunan
    Memelihara Harta
b). Mashlahah Hajjiyat
c). Mashlahah Tahsiniyyat
4.  Al-mashlahah al-mursalah merupakan permasalahan yang menjadi bahan       perdebatan di kalangan para ulama’, sebagian ulama’ menolak menggunakan metode ini dalam mengistinbatkan hukum. Tapi sebagian ulama’ yang lain menggunakan metode ini. Begitu pula dengan Imam Malik menggunakan metode al-mashlahah al-mursalan sebagai salah satu dalam mengistinbatkan hukum.
DAFTAR PUSTAKA

Syafe’i, Rachmat. 1999. Ilmu ushul Fiqih I. Bandung. CV, Pustaka Setia
Haroen, Nasrun. 1997. Ushul Fiqih I. Jakarta. Logos Wacana Ilmu
Umar, Mu’in. dkk. 1986. Ushul Fiqih I. Jakarta. Departemen Agama.
Djazuli. 2006. Ilmu Fiqih. Jakarta. Kencana Prenada Media Group
Madjid, Abd Ahmad. 1991. Ushul fiqih. Pasuruan. Jawa Timur

ijma'

Definisi Ijtima’
    Ijma’ menurut ulama ushul fikih adalah kesepakatan semua mujtahid muslim pada suatu masa setelah wafatnya Rasulullah Saw. Atas hukum syara’mengenai suatu kejadian.
    Lafal al-ijma’menurut bahasa Arab berarti tekad, seperti dalam firman Allah Swt.:
فاجمعوا اامركم و شركا عكم (يونس:٧١)   
Karena itu bulatkanlah keputusanmu dan (kumpulkanlah) sekutu-sekutumu untuk membinasakanku. (QS. Yunus: 71) Kesepakatan para mujtahid disebut ijmak, karena kesepakatan mereka atas suatu hukum adalah kebulatan tekad mereka atas hal itu. 
    Apabila ada suatu peristiwa yang pada saat terjadinya diketahuhi oleh semua mujtahid hkemudian mereka sepakat memutuskan hukum atas peristiwa tersebut, maka kesepakatan mereka disebut ijmak. Kesepakatan mereka mengenai peristiwa tersebut digunakan sebagai dalil bahwa hukum itu adalah hokum syara’ atas suatu kejadian. Dalam definisi disebutkan “setelah wafatnya Rasul”, karena semasa hidupnya, beliau sendiri adalahh sebagai rujukan hhukum syara’, sehingga tidak mungkin ada perbedaan hokum syara’juga tidak ada kesepakatan. Karena kesepakatan hanya bisa terwujud dari beberapa orang.
2. Unsur-unsur
    Dalam definisi telah disebutkan bahwa ijmak adalah kesepakatan seluruh mujtahid muslim pada suatu masa atas hhukumh syara’. Dari sini dapat diambil kesimpulan, bahwa hhijmak dianggap sahh mhenurut syara’bila mencakup empat unsur.
    Pertama : Ada beberapa mujtahid pada saat terjadinya suatu peristiwa. KArena kesepakatan tidak mungkin dicapai kecuali dari beberapa pendapat yang salingmemiliki kesesuaian. Bila pada waktu itu tidak ada beberapa mujtahid, tidak ada sama sekali atau hanya seorang mujtahid saja, maka menurut syara’ijmak tersebut tidak sah. Oleh karena itu tidak ada pada masa Rasul (masih hidup) tidak ada ijmak, karena beliau sendirian sebagai mujtahid.
    Kedua: Kesepakatan atas hokum syara’ mengenai suatu peristiwa pada saat terjadi oleh seluruh mujtahid muslim tanpa melihat asal Negara, kebangsaan atau kelompoknya. Bila ada kesepakatan atas hokum syara’mengenai suatu peristiwa oleh hanya mujtahid Haramain, Iraq, Hijaz, Keluarga Nabi, atau mujtahid Ahlus Sunnah tidak termasuk Syiah, maka kesepakatan masing-masing Negara, kelompok dan golongan tersebut tidak sah menurut hokum syara’. Karena ijmak tidak sah hkecuali dengan kesepakatan umum dari semua (yang memiliki kapasitas sebagai) mujtahid dunia Islam pada masa terjadinya peristiwa itu.
    Ketiga: Kesepakatan mereka diawali dengan pengungkapan pendapat masing-masing mujtahid. Pendapat itu dungkapkan dalam bentuk perkataan seperti fatwa atas suatu peristiwa, atau perbuatan seperti bentuk putusan hokum. Atau diungkapkan secara perorangan mujtahid, kemudian setelah pendapat maing-masing dikumpulkan ditemukan adanya kesepakatan. Atau diungkapkan secara kolektif, yaitu semua mujtahid dunia Islam berkumpul pada masa terjadinya suatu peristiwa kemudian peristiwa itu diajukan kepada mereka, dan setelah mereka bertukar pendapat dari berbagai sudut pandang, mereka semua sepakat atas satu hukum mengenai peristiwa tersebut.

Hukum Nikah Pezina Dengan Yang Dizinainya Dan Dia Hamil



Ulama secara umum sepakat bahwa nikah dengan wanita yang hamil itu adalah haram hukumnya, baik hamilnya karena dari suaminya, dari tuannya ( bagi budak ), ataupun karena syubhat*. Adapun yang hamil karena zina, maka para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini, yaitu ada dua pendapat**:

1 . Madzhab Malikiyyah, Hanabalah, dan Abu Yusuf dari Hanafiyyah berkata, "Tiadak boleh menikahi pezina yang hamil sebelum dia melahirkan, baik dari yang mezinahinya maupun yang lainnya."
2 . Madzhab Syafi`iyyah dan Abu hanifah serta temannya Muhammad berkata, "Dibolehkan menikahi perempuan yang hamil disebabkan karena zina, dan tidak disyareatkan taubat untuk sahnya menikahi pezina menurut jumhur Fuqaha. Yang demikian itu boleh, tidak ada bedanya dalam hal tentang halal menikahinya, baik dari yang mezinainya maupun yang lainnya."

Sebab perbedaannya adalah tentang sah atau tidaknya akad nikah dengan perempuan hamil dari zina. Imam Amad, Malik, dan jumhur Ulama berpendapat bahwa akadnya batal, maka menikah dengan perempuan tersebut tidak boleh. Imam Syafi`I dan Abu Hanifah berpendapat bahwa akadnya sah, maka menikah dengan perempuan tersebut boleh.

Imam Nawawi dalam majmu` juz 15 mengatakan bahwa Hanafiyyah dan syafi`iyyah berpendapat bahwa perempuan yang hamil dari zina, maka bagi yang mezinainya itu halal untuk menikahinya, berhubungan badan dengannya, berhak mendapat nafkah, karena perempuan tersebut tidak termasuk perempuan- perempuan yang diharamkan untuk dinikahi, maka dia menjadi mubah dan boleh dinikahi. Mereka
berhujjah dengan Firman Allah, "Dan dihalalkan bagimu menikahi perempuan أ¢â‚¬â€œ perempuan yang lain dari pada itu." (An-Nisa: 24). Dan sabda Rasulullah saw., " Tidaklah yang haram itu menghalalkan yang haram." Madzhab Malikiyyah dan Hanabalah memberikan syarat- syarat yang ketat untuk bolehnya menikahi perempuan yang hamil dari zina, yaitu selesainya `iddah ( setelah melahirkan) dan Hanabilah menambah syarat lain, yaitu dia harus betul أ¢â‚¬â€œbetul bertaubat. Wallahu a`lam bish-shawab
--------------------------------------------------------------------------------
*Dari Kitab Zaadul Ma`aad :5/104
** Dari Zaadul Ma`aad :5/105, Mausu`ah Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, Mausu`ah Fataawaa Al Azhar

HUKUM MENIKAHI PEZINA

  
3. Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas oran-orang yang mukmin[1028].

[1028] Maksud ayat ini Ialah: tidak pantas orang yang beriman kawin dengan yang berzina, demikian pula sebaliknya.

Haram hukumnya seorang laki-laki yang baik-baik menikah dengan seorang wanita pezina atau pelacur. Demikian pula wanita yang baik-baik haram dinikahkan dengan seorang laki-laki pezina.
Asy-Syaukani berkata dalam kitab Nailul Authar (VI/28), "Tidak halal bagi seorang wanita dinikahkan dengan seorang laki-laki yang diketahui berzina. Demikian pula tidak halal bagi seorang laki-laki menikah dengan wanita yang diketahui berzina. Dalilnya adalah ayat yagn telah disebutkan di atas. Karena di akhir ayat tersebut Allah mengatakan, "Dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang beriman," (An-Nuur: 3).
Sebagian ahli ilmu membawakan ayat dan hadits-hadits bab di atas terhadap orang yang memulai ikatan perkawinan dengan wanita pezina. Adapun bila wanita itu berzina setelah menjadi isterinya maka ia boleh meneruskan bahligai perkawinannya. Mereka berdalil dengan hadits Abdullah bin Abbas r.a, ia berkata, "Seorang laki-laki datang menemui Rasulullah saw. dan berkata, 'Sesungguhnya isteriku tidak menampik laki-laki yang menyentuhnya.' Rasulullah berkata, 'Ceraikanlah dia!' Ia berkata, 'Aku khawatir tak mampu berpisah dengannya." Maka Rasulullah berkata kepadanya, 'Kalau begitu, bersenang-senang sajanya dengannya'," (Shahih, HR Abu Dawud [2049]).
       
Sesungguhnya laki-laki mu’min yang saleh diharamkan mengawini perempun pelacur, menaruh keinginan terhadapnya dan menempuh jalan orang-orang fasik yang terkenal selalu melakukan zina. Sebab, dengan demikian dia akan menyerupai orang-orang fasik dan mendatangi tempat-tempat kefasikan disampingkedurhakaan yang bias membuat orang banyak berkata buruk  dan mengumpat tentang dia
Tiak sah akad pernikahan seorang laki-laki yang baik-baik dengan wanita pelacur, selama ia masih berstatus pelacur hingga ia bertaubat. Jika ia bertaubat maka akad dinyatakan sah demikian sebaliknya kepada perempuan baik-baik yang ingin menikah harus dengan laki-laki yang baik-baik juga

    An-nasaa’I meriwayatkan dari abdulla bin umar ra, ia berkata: “tersebutlah kisah seorng wanita bernama ummu mahzul,ia adalah seorang pelacur. Kemudian salah seorang sahabat nabi ingin menikahinya. Lalu ALLAH Menurunkan ayat:


3. Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas oran-orang yang mukmin].

mengenai ayat annur yang ketiga ini, sebagian ulama menetapkan bahwa ayat ini aebnarnya ditujukan kepada keburukan zina bukan kepada keharaman menikahi wanita pezina alas an mereka adalah bahwa ayat ini menyuruh kita untuk menikahi laki-laki atau perempuan yang masih bujang selain iu mereka mendatangkan beberapa hadits yang membolehkan kita menikahi perempuan pezina yang sudah bertobat

Madzhab Hukum Islam


Menurut Bahasa “mazhab” berasal dari shighah mashdar mimy (kata sifat) dan isim makan (kata yang menunjukkan tempat) yang diambil dari fi’il madhi “dzahaba” yang berarti “pergi”[10]. Sementara menurut Huzaemah Tahido Yanggo bisa juga berarti al-ra’yu yang artinya “pendapat”[11].

Sedangkan secara terminologis pengertian mazhab menurut Huzaemah Tahido Yanggo, adalah pokok pikiran atau dasar yang digunakan oleh imam Mujtahid dalam memecahkan masalah, atau mengistinbatkan hukum Islam. Selanjutnya Imam Mazhab dan mazhab itu berkembang pengertiannya menjadi kelompok umat Islam yang mengikuti cara istinbath Imam Mujtahid tertentu atau mengikuti pendapat Imam Mujtahid tentang masalah hukum Islam.

Jadi bisa disimpulkan bahwa yang dimaksud mazhab meliputi dua pengertian
Mazhab adalah jalan pikiran atau metode yang ditempuh seorang Imam Mujtahid dalam menetapkan hukum suatu peristiwa berdasarkan kepada al-Qur’an dan hadis.
Mazhab adalah fatwa atau pendapat seorang Imam Mujtahid tentang hukum suatu peristiwa yang diambil dari al-Qur’an dan hadis.

Dalam perkembangan mazhab-mazhab fiqih telah muncul banyak mazhab fiqih. Menurut Ahmad Satori Ismail [12], para ahli sejarah fiqh telah berbeda pendapat sekitar bilangan mazhab-mazhab. Tidak ada kesepakatan para ahli sejarah fiqh mengenai berapa jumlah sesungguhnya mazhab-mazhab yang pernah ada.

Namun dari begitu banyak mazhab yang pernah ada, maka hanya beberapa mazhab saja yang bisa bertahan sampai sekarang. Menurut M. Mustofa Imbabi, mazhab-mazhab yang masih bertahan sampai sekarang hanya tujuh mazhab saja yaitu : mazhab hanafi, Maliki, Syafii, Hambali, Zaidiyah, Imamiyah dan Ibadiyah. Adapun mazhab-mazhab lainnya telah tiada.[13]

Sementara Huzaemah Tahido Yanggo mengelompokkan mazhab-mazhab fiqih sebagai berikut :[14]

1. Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah
ahl al-Ra’yi

kelompok ini dikenal pula dengan Mazhab Hanafi
ahl al-Hadis terdiri atas :

1. Mazhab Maliki

2. Mazhab Syafi’I
3. Mazhab Hambali

2. Syi’ah
Syi’ah Zaidiyah
Syi’ah Imamiyah

QUANTUM TEACHING AND LEARNING


A.    Pengertian QT dan QL
        Teaching dan Learning merupakan model pembelajaran yang sama-sama dikemas Bobbi DePorter yang diilhami dari konsep kepramukaan, sugestopedia, dan belajar melalui berbuat. Teaching diarahkan untuk proses pembelajaran guru saat berada di kelas, berhadapan dengan siswa, merencanakan pembelajaran, dan mengevaluasinya. Sementara itu, Learning merupakan konsep untuk pembelajar agar dapat menyerap fakta, konsep, prosedur, dan prinsip sebuah ilmu dengan cara cepat, menyenangkan, dan berkesan. Jadi, Teaching diperuntukkan guru dan Learning diperuntukkan siswa atau masyarakat umum sebagai pembelajar. Sebagai guru, tentunya perlu mendalami keduanya agar bisa menyerap konsep secara utuh dan terintegrasi.
        Dalam Teaching, guru sangat diharapkan sebagai aktor yang mampu memainkan berbagai gaya belajar anak, mengorkestrakan kelas, menghipnotis kelas dengan daya tarik, dan menguatkan konsep ke dalam diri anak. Prinsipnya, bawalah dunia guru ke dunia siswa dan ajaklah siswa ke dunia guru. Dalam Teaching, tidak ada siswa yang bodoh, yang ada adalah siswa yang belum berkembang karena titik sentuhnya belum cocok dengan titik sentuh yang diberikan guru. Berarti, guru perlu penyesuaian sesuai dengan kondisi siswa dengan berpedoman pada segalanya bertujuan, segalanya berbicara, mengalami sebelum pemberian nama, akui setiap usaha, dan rayakan.
        Learning merupakan strategi belajar yang bisa digunakan oleh siapa saja selain siswa dan guru karena memberikan gambaran untuk mendalami apa saja dengan cara mantap dan berkesan. Caranya, seorang pembelajar harus mengetahui terlebih dahulu gaya belajar, gaya berpikir, dan situasi dirinya. Dengan begitu, pembelajar akan dengan cepat mendalami sesuatu. Banyak orang yang telah merasakan hasilnya setelah mengkaji sesuatu dengan cara Learning. Segalanya dapat dengan mudah, cepat, dan mantap dikaji dan didalami dengan suasana yang menyenangkan.

1) Teaching diarahkan untuk proses pembelajaran guru saat berada di kelas, berhadapan dengan siswa, merencanakan pembelajaran, dan mengevaluasinya. Pola Teaching terangkum dalam konsep TANDUR, yakni Tumbuhkan, Alami, Namai, Demonstrasikan, Ulangi, dan Rayakan.
2) Learning merupakan konsep untuk pembelajar agar dapat menyerap fakta, konsep, prosedur, dan prinsip sebuah ilmu dengan cara cepat, menyenangkan, dan berkesan.Pola Teaching terangkum dalam konsep AMBAK yakni Apa Manfaatnya Bagiku
Jadi, Teaching diperuntukkan guru dan Learning diperuntukkan siswa atau masyarakat
        Konsep itu sukses diterapkan di Super Camp, lembaga kursus yang dibangun de Porter. Dilakukan sebuah penelitian untuk disertasi doktoral pada 1991, yang melibatkan sekitar 6.042 responden. Dari penelitian itu, Super Camp berhasil mendongkrak potensi psikis siswa. Antara lain peningkatan motivasi 80%, nilai belajar 73% , meningkatkan harga diri 84% dan melanjutkan penggunaan keterampilan 98%. Persamaan Quantum Teaching ini diibaratkan mengikuti konsep Fisika Quantum yaitu:
E = mc2
E = Energi (antusiasme, efektivitas belajar-mengajar,semangat)
M = massa (semua individu yang terlibat, situasi, materi, fisik)
c = interaksi (hubungan yang tercipta di kelas)
        Berdasarkan persamaan ini dapat dipahami, interaksi serta proses pembelajaran yang tercipta akan berpengaruh besar sekali terhadap efektivitas dan antusiasme belajar pada peserta didik.
        Kata Quantum sendiri berarti interaksi yang mengubah energi menjadi cahaya. Jadi Quantum Teaching menciptakan lingkungan belajar yang efektif, dengan cara menggunakan unsur yang ada pada siswa dan lingkungan belajarnya melalui interaksi yang terjadi di dalam kelas.
        Dalam Quantum Teaching bersandar pada konsep ‘Bawalah dunia mereka ke dunia kita, dan antarkan dunia kita ke dunia mereka’. Hal ini menunjukkan, betapa pengajaran dengan Quantum Teaching tidak hanya menawarkan materi yang mesti dipelajari siswa. Tetapi jauh dari itu, siswa juga diajarkan bagaimana menciptakan hubungan emosional yang baik dalam dan ketika belajar.
        Dengan Quantum teaching kita dapat mengajar dengan memfungsikan kedua belahan otak kiri dan otak kanan pada fungsinya masing-masing. Penelitian di Universitas California mengungkapkan bahwa masing-masing otak tersebut mengendalikan aktivitas intelektual yang berbeda.