Senin, 09 Januari 2012

Al-Mashlahah Al-Mursalah

2.1    Pengertian Al-Mashlahah Al-Mursalah
Secara etimologi, kata al-mashlahah sama dengan kata al-manfa’at, baik dari segi lafal maupun makna. Mashlahah juga berarti manfa’at atau suatu perbuatan yang mengandung nilai baik atau manfa’at.  Sedangkan kata mursalah berarti terputus atau terlepas.
 Secara terminologi al-mashlahah al-mursalah adalah suatu kemaslahatan yang tidak disinggung oleh syara’ dan tidak pula terdapat dalil-dalil yang menyuruh untuk mengerjakan atau meninggalkannya. Sedang jika dikerjakan akan mendatangkan kebaikan atau kemaslahatan yang besar.
Adapun prinsip al-mashlahah al-mursalah ialah menarik manfa’at dan menghindarkan kerusakan (mafsadat) bagi kehidupan umat manusia. Menutut Abdul Wahhab Kallaf , seorang pakar ushul fiqih Mesir, metode al-mashlahah al-mursalah dalam praktek ijtihat merupakan upaya penggalian hukum Islam dari suatu kasus yang tidak ada ketetapannya dalam nash Al-Qur’an dan hadits yang menguatkan atau membatalkannya atas dasar kemaslahatan agar hidup manusia terbebas dari kesulitan.
Imam Al-Ghazali mengemukakan bahwa pada prinsipnya al-mashlahah adalah mengambil manfaat dan menolak kemudaratan dalam rangka memelihara tujuan-tujuan syara’. Suatu kemaslahatan harus sejalan dengan tujuan syara’ meskipun bertentangan dengan tujuan-tujuan manusia, karena kemaslahatan manusia tidak selamanya didasarkan kepada kehendak syara’ tapi sering didasarkan pada kehendak hawa nafsu.
Abu Zahrah mendefinisikannya dengan suatu mashlahah yang sesuai dengan maksud-maksud pembuat hukum (Allah) secara umum, tetapi tidak ada dasar secara khusus menjadi bukti diakui atau tidaknya.
Adapun al-mashlahah al-mursalah menurut Imam Malik sebagainama analisis Al-Syatibi adalah suatu maslahah yang sesuai dengan tujuan, prinsip dan dalil-dalil syara’ yang berfungsi untuk menghilangkan kesempitan, baik yang bersifat dhaririyat maupun hajjiyat.
Maslahah mursalah lazim disebut dengan istihlah, merupakan salah satu cara dalam menetapkan hukum bagi masalah-masalah yang ketetapan hukumnya tidak disebutkan di dalam nas dengan pertimbangan untuk kemaslahatan hidup manusia. Jadi pembentukan hukum dengan cara maslahat mursalah semata-mata untuk mewujudkan kemaslahatan manusia, dengan arti untuk mendatangkan manfa’at dan menolak kemudharatan serta kerusakan bagi manusia.

2.2 Objek Al-Mashlahah Al-Mursalah
Dengan memperhatikan beberapa penjelasan diatas, dapat diketahui bahwa lapangan al-mashlahah al-mursalah selain yang berdasarkan pada hukum syara’ secara umum, juga harus diperhatikan adat dan hubungan antara satu manusia dengan yang lain, lapangan tersebut merupakan pilihan utama untuk mencapai kemaslahatan. Dengan demikian segi ibadah tidak termasuk dalam lapangan tersebut.
Imam Al-Qarafi Ath-Thufi menerangkan bahwa al-mashlahah al-mursalah itu sebagai dasar untuk menetapkan hukum dalam bidang mu’amalat, sedang masalah ibadah adalah hak Allah SWT untuk menetapkan hukumnya.
Secara ringkas dapat dikatakan bahwa objek al-mashlahah al-mursalah ialah kejadian atau peristiwa yang perlu ditetapkan hukumnya tetapi tidak ada satupun nash (Al-Qur’an dan Hadits) yang dapat dijadikan sebagai hukum dasar.
Untuk bisa menjadikan al-mashlahah al-mursalah sebagai dalil dalam penetapan hukum, diperlukan persyaratan-persyaratan penggunaan maslahat agar tetap ada dalam nilai-nilai syari’ah.  Ulama Malikiyah dan Hanabilah mensyaratkan tiga syarat,  yaitu:
1.    Kemaslahatan ini tidak boleh bertentangan dengan hukum syara’ atau dasar yang ditetapkan dalam nash atau ijma’. Kemaslahatan itu harus sejalan dengan kehendak syara’.
2.    Kemaslahatan itu bersifat riil (hakiki) dan pasti, bukan sekedar perkiraan atau bersifat dugaan, maksudnya, maslahah yang didasarkan atas penelitian, observasi, dan analisis yang mendalam, sehingga hukum yang ditetapkan melalui al-mashlahah al-mursalah itu benar-benar menghasilkan manfaat dan menghindari kemudaratan.
3.    Berupa kemaslahatan umum, bukan kemaslahatan pribadi. Artinya penetapan hukum syara’ itu dapat menarik manfaat bagi mayoritas umat manusia (umum), bukan untuk kepentingan pribadi atau kelompok kecil tertentu.

2.1    Tingkatan-Tingkatan Al-Maslahah
Dilihat dari segi kualitas dan kepentingan kemaslahatan itu, para ahli ushul fiqih membaginya menjadi tiga tingkatan , yaitu:
1. Tingkat Dharuriyyat
Dharuriyat adalah kemaslahatan yang berhubungan dengan kebutuhan pokok umat manusia didunia dan akhirat, kemaslahatan ini ada lima. Yang mana lima hal ini kemudian dalam terminologi ushul fiqh disebut dengan kulliyat khomsah. Diantaranya:
    Memelihara Agama
Memeluk suatu agama merupakan fitrah dan naluri insani yang tidak bisa diingkri dan sangat dibutuhkan umat manusia. Untuk kebutuhan tersebut Allah mensyari’atkan agama yang wajib dipelihara oleh setiap orang, baik yang berkaitan dengan ibadah, aqidah, maupun mu’amalah, yakni dengan cara mengerjakan arkanul Islam. Memelihara agama dari fitnah musuh, baik dari orang murtad, orang zindik, serta orang-orang non muslim. Dalil memelihara agama terdapat pada surat Al-baqarah : 21
 ••          
Artinya “ Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang Telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa”.

    Memelihara Jiwa
Hak hidup juga merupakan hak paling asasi bagi setiap manusia. Untuk kemaslahatan dan keselamatan jiwa dalam kehidupan, Allah mensyari’atkan berbagai hukum yang terkait dengan hal itu. Seperti syari’at “ Qishos” yang bertujuan untuk menjaga eksistensi jiwa manusia, karena dengan hukum qishos dengan demikian tindakan pidana tidak akan terulang kembali. Ayat yang berhubungan dengan pemeliharaan jiwa terdapat dalan surat al-an’am : 151
                             •         •            

Artinya : Katakanlah: "Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Tuhanmu yaitu: janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat baiklah terhadap kedua orang ibu bapa, dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu Karena takut kemiskinan, kami akan memberi rezki kepadamu dan kepada mereka, dan janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang nampak di antaranya maupun yang tersembunyi, dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar. demikian itu yang diperintahkan kepadamu supaya kamu memahami(nya)”.

    Memelihara Akal Pikiran
Akal merupakan sasaran yang menentukan bagi seseorang dalam menjalani hidup dan kehidupan. Oleh karena itu Allah menjadiakan pemeliharaan akal sebagai suatu yang pokok. Antara lain Allah melarang meminum-minuman keras karena minuman itu bisa merusak akal. Dan untuk kepentingan pemeliharaan akal maka disyari’atkan untuk melaksanakan ijtihat memikirkan ciptaan Allah SWT. Ayat yang berhubungan dengan akal terdapat dalam surat al-maidah : 38
              

Artinya : “Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.

    Memelihara Keturunan
Berketurunan merupakan masalah pokok bagi manusia dalam memelihara kelangsungan hidup manusia dimuka bumi. Untuk tujuan ini Islam mengatur pernikahan dan mengharamkan perzinahan. Selain itu Islam juga melarang umatnya menikah dengan agama lain jika hal ini dipandang akan merusak pemeliharaan agama. Ayat yang berkaitan dengan masalah ini terdapat dalam surat Al-baqarah : 221
                              •     •      ••   

Artinya ”Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran”.

    Memelihara Kehormatan dan Harta
Untuk kepentingan ini maka dihubungkan aturan mencari rizki, seperti konsep-konsep yang termuat dalam mu’amalah antar manusia, dan mengharamkan segala bentuk penipuan, pencurian, dan sebagainya. Allah juga mensyari’atkan hukuman bagi pencuri dan perampok, karena harta merupakan asas kehidupan, sumber kekuatan dan kewibawaan individu. Ayat-ayat yang menjelaskan hal ini terdapat dalam surat Al-baqarah : 188
             ••    

Artinya “Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu Mengetahui”.

2. Maslahah Hajiyat
Hajjiyat dalam ushul fiqh merupakan kemaslahatan yang dibutuhkan dalam menyempurnakan kemaslahatan pokok sebelumnya yang berbentuk keringanan untuk mempertahankan dan memelihara kebutuhan mendasar manusia, misal dalam bidang ibadah diberi keringanan meringkas shalat dan berbuka puasa bagi musyafir. Sedang dalam bidang mu’amalah diperbolehkan jual beli, kerjasama dalam pertanian dan perkebunan, semuanya itu disyari’atkan Allah untuk mendukung kebutuhan mendasar  diatas.
Hajiyat bersifat komplementer, mengingat bahwa maqasid syari’ah sebenarnya bisa terwakili oleh dharuriyat. Demikian juga untuk memelihara kelangsungan hidup, hajiyat membolehkan berburu dan memekan hewan-hewan yang halal. Dan untuk menjaga harta hajiyat membolehkan akad salam(pesanan), qiradl (memutar modal dengan membagi keuntungan bersama).

3. Maslahah tahsiniyyah
Ialah kemaslahatan yang sifatnya pelengkap berupa keleluasaan yang dapat melengkapi kemaslahatan sebelumnya. Misalnya, dianjurkan untuk memakan makanan yang bergizi, melakukan ibadah sunnah sebagai amalan tambahan, dan berbagai jenis cara menghilangkan najis dari badan manusia.

Diantara contoh al-mashlahah al-mursalah yang lain adalah usaha khalifah Abu Bakar  mengumpulkan Al-qur’an yang terkenal dengan jam’ul Qur’an. Pengumpulan Al-Qur’an ini tidak disinggung sedikitpun oleh syara’ tidak ada nash yang memerintahkan dan tidak ada nash yang malarangnya. Umar bin Khattab melihat kemaslahatan yamg sangat besar dalam pengumpulan al-qur’an itu, bahkan menyangkut kepentingan agama. Seandainya tidak dikumpulkan dikhawatirkan Al-Qur’an akan hilang dari permukaan dunia nanati. Karena itu Khalifah Abu bakar menerima anjuran Umar dan melaksanakannya.


Kehujjahan Maslahah
Penerimaan Imam Malik dan Pandangan Para ulama
Beberapa pendapat ulama dalam kitab ushul tentang al-mashlahah al-mursalah.
1.    Al-amidi berkata dalam kitab Al-Ihkam, “para ulama’ dari golongan Syafi’i, Hanafi dan lain-lain telah sepakat untuk tidak memegang kepada istihlah.
2.    Imam Asy-Syatibi berkata dalam kitab Al-Istifham, pendapat tentang adanya mashlahah al-mursalah telah didebatkan dikalangan ulama
a).Al-Qadhi dan beberapa ahli menolaknya dan menganggapnya sebagai    sesuatu yang tidak ada dasarnya.
b).Imam Malik menganggapnya ada dan memekainya secara mutlak.
c).Imam Al-Ghazali berpendapat bahwa bila kecocokannya itu ada dalam tahap tahsin atau tajayyun (perbaikan), tidaklah dipakai sampai dalil yang lebih jelas, adapun jika berada pada mertabat penting maka boleh memakainya tapi harus memenuhi beberapa syarat.
Sebagaimana yang telah dijelaskan, bahwa al-mashlahah al-mursalah merupakan permasalahan yang menjadi bahan perdebatan dikalangan para ulama. Ada pendapat yang membenarkan al-mashlahah al-mursalah sebagai dasar istihlah dengan alasan masyarakat selalu berkembang. Jika timbul masalah, maka harus diselesaikan berdasarkan prinsip al-mashlahah al-mursalah. Pendapat ini didukung oleh kebanyakan usul fiqih, di antaranya Imam Malik dan Imam Hanbali.  Dengan alasan Allah mengutus utusan-utusannya untuk membimbing umatnya kepada kemaslahatan manusia, maka jelaslah bagi kita bahwa maslahah itu satu hal yang dikehendaki oleh syara’ dan agama. Mengingat hukum Allah diadakan adalah untuk kepentingan umat manusia baik dunia maupun akhirat
Sedangkan pendapat yang kedua,didukung oleh Abu Hanifah dan Imam Syafi’i, menolak al-mashlahah al-mursalah sebagai hujah. Alasannya karena nash telah menjelaskan pedoman hidup manusia dan syari’at Allah dengan tegas dan lengkap 

KESIMPULAN

1.    Secara etimologi al-mahlahah al-mursalah adalah sama dengan kata manfaat. Juga dapat berarti suatu perbuatan yang mengandung nilai baik atau bermanfaat. Secara terminologi adalah suatu kemaslahatan yang tidak disinggung oleh syara’ dan tidak pula terdapat dalil-dali yang manyuruh untuk mengerjakan atau meninggalkannya, jika dikerjakan akan mendatangkan kebaikan yang besar dan menghindari kemudharatan.
2.    Objek al-mashlahah al-mursalah kejadian atau peristiwa yang perlu ditetapkan hukumnya, tapi tidak ada satupun nash yang dapat dijadikan sebagai hukum dasar. Al-mashlahah al-mursalah itu sebagai dasar untuk menetapkan hukum dalam bidang mu’amalat saja, dengan demikian, bidang ibadah tidak termasuk lapangan dari al-mashlahah al-mursalah.
3.    Macam-macam mashlahah :
a). Mashlahah al-dharuriyyah, yang dibagi menjadi 5.
    Memelihara Agama
    Memelihara Jiwa
    Memelihara Akal
    Memelihara Keturunan
    Memelihara Harta
b). Mashlahah Hajjiyat
c). Mashlahah Tahsiniyyat
4.  Al-mashlahah al-mursalah merupakan permasalahan yang menjadi bahan       perdebatan di kalangan para ulama’, sebagian ulama’ menolak menggunakan metode ini dalam mengistinbatkan hukum. Tapi sebagian ulama’ yang lain menggunakan metode ini. Begitu pula dengan Imam Malik menggunakan metode al-mashlahah al-mursalan sebagai salah satu dalam mengistinbatkan hukum.
DAFTAR PUSTAKA

Syafe’i, Rachmat. 1999. Ilmu ushul Fiqih I. Bandung. CV, Pustaka Setia
Haroen, Nasrun. 1997. Ushul Fiqih I. Jakarta. Logos Wacana Ilmu
Umar, Mu’in. dkk. 1986. Ushul Fiqih I. Jakarta. Departemen Agama.
Djazuli. 2006. Ilmu Fiqih. Jakarta. Kencana Prenada Media Group
Madjid, Abd Ahmad. 1991. Ushul fiqih. Pasuruan. Jawa Timur

Tidak ada komentar:

Posting Komentar