Senin, 09 Januari 2012

istishab

A.    Pengertian Istihsan
Istihsan menurut bahasa berarti menganggap baik atau mencari yang baik . Sedangkan menurut istilah, Ulama’ Ushul fiqh mendefinisikan berbeda-beda sesuai dengan tinjauannya masing-masing dan kemampuannya dalam menyimpulkan pengertian “istihsan”  . Di antaranya adalah;
- Dari Ulama’ madzhab Hanafy;
•    Menurut al-Bazdawiy,
“Istihsan adalah meninggalkan keharusan menggunakan Qiyas dan berpindah kepada qiyas yang lebih kuat atau mentahksis Qiyas dengan dalil yang lebih kuat dari Qiyas tadi”.
•    An-Nafisy mendevinisikan;
“Istihsan adalah meninggalkan suatu qiyas menuju pada qiyas yang lebih kuat atau istihsan ialah dalil yang berlawanan dengan qiyas jally.
- Menurut ulama’ Madzhab Maliky:
•    Ibnu ‘Araby mendevinisikan;
“Istihsan meninggalkan ketetapan dalil dengan cara mengecualikan dan meringankan karena ada pertentangan yang menentangnya di dalam sebagian ketetapannya.”.
•    Menurut Ibnu Rusdy:
Istihsan adalah meninggalkan suatu qiyas yang membawa kepada yang berlebih-lebihan atau melampui batas di dalam hukum dan berpindah kepada hukum lain yang merupakan kekecualian.
•    As-Syathiby menyatakan;
“Istihsan menurut pendapatku dan menurut pendapat ulama’-ulama’ Hanafiyah adalah beramal dengan dalil yang lebih kuat di antara dua dalil”.

-    Dari Ulama’ Hanbaliyah memberikan devinisi:
“Devinisi istihsan yang baik adalah perpindahan dari suatu hukum tentang suatu kasus karena ada dalil syara’ yang khusus” .
Dari definisi-definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa mereka sepakat untuk menerima 2 hal:
o    Ahli ushul fiqh dari madzhab Hanafiy dan Hambaly, sekalipun berbeda di dalam memformulasikan kata-katanya, namun mereka sepakat bahwa istihsan adalah perpindahan dari suatu hukum karena adanya hukum yang lebih kuat.
o    Perpindahan ini kadang-kadang dari hukum yang dihasilkan dengan menggunakan umumnya nash dan kadang-kadang dari hukum yang dihasilkan dengan menggunakan qiyas dan kadang-kadang dari hukum yang merupakan penerapan kaida-kaidah yang kulliyah.                                                 
Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa istihsan adalah perpindahan dari suatu hukum yang ditetapkan oleh dalil syara’ dalam suatu kasus tertantu kepada hukum lain. Karena adanya dalil syara’ yang mengharuskan perppindahan sesuai dengan jiwa syari’at islam.
Dalil syara’ yang menetapkan perpindahan disebut sanad istihsan, atau dengan singkat dapat didefinisikan bahwa al-istihsan adalah “menguatkan suatu dalil atas dalil lain yang berlawanan dengan tarjih yang diakui oleh syara’.  
Ditinjau dari pengertian istihsan menurut ulama ushul fiqih di atas, maka istihsan itu terbagi atas dua macam, yaitu:
    Pindah dari qiyas jali kepada qiyas khafi, karena ada dalil yang mengharuskan perpindahan itu.
    Pindah dari hukum kulli kepada hukum juz’i, karena ada dalil yang mengharuskannya istihsan macam ini oleh madzhab Hanafy disebut istihsan darurat, karena penyimpangan itu dilakukan karena suatu kepentingan darurat.


Ulama’ Hanafy membagi istihsan menjadi 6 macam, yaitu:
    Istihsan bi al-Nash (istihsan berdasarkan ayat atau hadist).
Maksudnya ada ayat atau hadist tentang hukum suatu kasus yang berbeda dengan ketentuan kaidah umum.
     Istihsan  bi al-ijma’ (istihsan yang berdasarkan ijma’).
    Isthsan bi al-qyas al-khafy (istihsan berdasarkan qiyas yang tersembunyi).
     Istihsan bi al-mashlahah (istihsan berdasarkan kemaskahatan).
     Istihsan al-‘urf (istihsan berdasarkan adat kebiasaan yang berlaku umum).
    Istihsan bi al-Dharurah (istihsan berdasarkan keadan darurat)
Artinya ada keadaan-keaadan darurat yang menyebabkan seorang mujtahid tidak memberlakukan kaidah umum atau qiyas.
B.    Kehujjahan Istihsan
Berdasarkan definisi dan macam-macam istihsan, dapat diketahui bahwa istihsan itu pada dasarnya bukan merupakan sumber pembentukan hukum yang berdiri sendiri. Terdapat perbedaan pendapat ulama’ ushulfiqh dalam menetapkan istihsan sebagai salah satu metode atau dalil dalam menetapkan hukum syara’.
Menurut Hanafiyah, Malikiyah dan dan sebagian ulama’ Hanabilah, istihsan merupakan dalil yang kuat dalam menetapkan hukum syara’. Alasan yang mereka kemukakan adalah:
a.    Ayat-ayat yang mengacu kepada mengangkatkan kesulitan dan kesempitan dari umat manusia, yaitu firman Allah dalam surat al-Baqoroh 2:185:
                    
“.......... Allah menghendaki kemudahan bagi kamu dan tidak menghendaki kesukaran bagi kamu....”
b.    Sabda Rasullah dalam riwayat Abdullah bin Mas’ud yang artinya:
“sesuatu yang dipandang baik oleh umat islam, maka ia juga dihadapkan Allah adalah baik. (HR Ahmad ibn Hambal)
c.    Hasil penelitian dari berbagai ayat dan hadist terhadap berbagai permasalahan yang treperinci menunjukkan bahwa memberlakukan hukum sesuai dengan kaidah umum dan qiyas adakalanya membawa kesulitan bagi umat manusia, sedangkan syari’at Islam ditujukan untuk menghasilkan dan mencapai kemaslahatan manusia. Oleh sebab itu, apabila seorang mujtahid dalam menetapkan hukum memandang bahwa kaidah umum atau qiyas tidak tepat diberlakukan, maka ia boleh berpaling kepada kaidah yang akan dapat memberikan hukum yang lebih sesuai dengan kemaslahatan umat manusia.
C.    Pendapat para Ulama’ tentang Istihsan
Ada tiga pendapat ulama’ tentang nilai istihsan sebagai hujjah:
1)    Pendapat dari Hanafiyah, Malikiyah, dan Hanabilah, yang menyatakan bahwa istihsan adalah dalil syara’ dengan alasan:
a.    Istihsan yang ditetapkan berdasarkan penelitian terhadap kasus-kasus dan hukum-hukum yang ternyata bahwa penggunaan qiyas, menerapkan yang umum atas dalil yang kully, kadang-kadang, di dalam beberapa kasus menyebabkan hilangnya kemaslahatan manusia karena kasus-kasus ini mempunyai kekhususan-kekhususan tersendiri, merupakan suatu keadilan dan rahmat bagi manusia, apabila dibuka jalan bagi seorang mujtahid di dalam memecahkan kasus ini mentarjih dalil agar tercapai kemaslahatan dan tertolak kemudhorotan dengan kata lain “Dar-ul mafasid wa jalbul masholih”. Jadi istihsan digunakan untuk mendapatkan kemanfaatan dan menolak kemudhorotan atau menemukan maslahat yang lebih kkuat atau madharat yang lebih sedikit.
b.    Istihsan berdasarkan penelitian tehadap nash-nash syara’ yang menunjukkan bahwa Allah Yang Maha Bijaksana, berpndah dari sebagian kasus-kasus yang bisa digunakan qiyas atau umumnya nash kepada hukum lain yang memberikan kemaslahatan dan menolak kemafsadatan, misalnya Allah mengharamkan bangkai, darah, daging babi, dan pa yang disembelih liggoirillah, selanjutnya Allah berfirman:
           •    
“barang siapa terpaksa, sedangkan ia ttidak mengingikannya dan tidak melebihi batas, maka tidaklah ada dosa atasnya”. (al-Baqoroh: 173)
2)    Ulama’-ulama’ yang menolak istihsan sebagai dalil syara’, dengan beralasan sebagai dalil dengan beralasan sebagi berikut:
a.    Syari’at itu berupa nash atau mengembalikan dengan qiyas, maka dimanakhg letaknya istihsan, dan istihsan bertentangan dengan firman Allah SWT. Di dalam al-Quran (al-Qiyamah: 36)
     
    Adakah manusia manyangka bahwa ia akan dibiarkan percuma.
b.    Banyak ayat-ayat Al-quran yang menyuruh taat kepada Allah SWT. Dan taat kepada Rasul-Nya serta melarang untuk mengikuti hawa nafsu dan menyuruh kita kembali kepada al-Quran dan AS-sunah Nabi SAW. Apabila terjadi pertentangan. Hal ini sesuai dengan firman-Nya:
        
“kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul” (an-nisa’:59)
Padahal istihsan bukan al-quran dan bukan as-Sunah serta tidak pula mengembalikan  kepada al-quran dan as-sunah, oleh karena itu tidak bisa diterima.
c.    Nabi tidak pernah memberi fatwa dengan istihsan dengan apa yang dianggap beliau baik, karena beliautidak pernah memberi fatwa sesuai hawa nafsunya.
d.    Nabi memungkiri/menolak sahabat-sahabat yang berfatwa dengan istihsan/apa yang dianggap baik, tidak menyetujui sahabat-sahabt yang membakar orang musyrik, atas dasar fatwa itulah yang mereka anggap baik.
e.    Istihsan tidak ada dhabitnya, tidak ada ukuran-ukuran untuk mengqiyaskannya, sehingga apabila dihadapkan kepada seseorang mujtahid suatu kasus, dia akan menetapkan hukum sesuai dengan apa yang dianggap baik sesuai dengan seleranya.
f.    Apabila istihsan ibolehkan dalam berijtihad, dan tidak berdasarkan nash atau tidak dikembalikan kapada nash, maka istihsan boleh dilakukan oleh siapa saja, meskipun tidak mengetahui al-quran. Atas alasan-alasan ini, Asy-Syafi’i berkesimpulan:
من استحسن فقد شرع
“Barangsiapa menetapkan hukum dengan istihsan berarti dia membuat syari’at sendiri”     
3)    Pendapat yang menyatakan bahwa istihsan adalah dalil syara’, akan tetapi bukan dalil yang mustaqil tetapi kembali kepada dalil syara’ yang lain sebab setelah diteliti kembali kepada maslahat. Pendapat ini dipegang antara lain oleh Asy-Syaukaniy. Sesungguhnya apabila kita teliti alasan-alasan Imam Syafi’i di dalam menentang istihsan kemudian kita bandingkan dengan definisi istihsan yang telah dikemukakan di atas tidak ada pertentangan yangprinsip. Alasannya baik madzhab Syafi’i maupun Hanafy apabila istihsan diartikan sebagai apa-apa yang di-anggap baik oleh manusia saja sesuai dengan keinginan hawa nafsunya tanpa adanya dalil adalah dalil adalah bathil dan tidak bisa diterima.
Apabila istihsan diartikan sebagai perpindahan dari suatu dalil kepada dalil yang lain yang lebih kuat maka pengertian semacam ini tidak ada yang akan menolaknya.
Imam as-Syaukani mengenai hal ini mengatakan bahwa orang yang mengambil istihsan sebagai dalil tidaklah ia semata-mata mendasarkan pendapatnya kepada perasan dan syahwatnya tetapi ia kembali kepada apa yang ia ketahui tentang maksud syara’ secara keseluruhan.



BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Istihsan menurut bahasa berarti menganggap baik atau mencari yang baik. Menurut istilah ulama’ ushul fiqh, ialah meninggalkan hukum yang telah ditetapkan pada suatu peristiwa atau kejadian yang ditetapkan berdasa dalil syara’, menuju (menetapkan) hukum lai dari peristiwa atau kejadian itu juga, karena ada suatu dalil syara’ yang mengharuskan untuk meninggalkannya. Dalil syara’ yang terakhir disebut sandaran istihsan.
Qias berbeda dengan istihsan. Pada qiyas ada dua peristiwa atau kejadian. Peristiwa atau kejadian pertama belum ditetapkan hukumnya karena tidak ada nash yang dapat dijadikan dasarnya. Untuk menetapkan hukumanya dicari peristiwa atau kejadian yang lai yang telah ditetapkan hukumnya berdasarkan nash dan mempunyai persamaan illat dengan peristiwa pertama. Berdasarkan persamaan illat itu ditetapkanlah hukum peristiwa pertama sama dengan hukum peristiwa kedua. Sedang pada istihsan hanya ada satu peristiwa atau kejadian. Mula-mula kejadian itu telah ditetapkan hukumnya berdasar nash. Kemudian ditemukan nash yang lain mengharuskan untuk meninggalkan hukum dari peristiwa atau kejadian yang telah ditetapkan itu, pindah kepada hukum lain, sekalipun dalil pertama dianggap kuat, tetapi kepentingan menghendaki perpindahan hukum itu.
Dengan perkataan yang lain bahwa pada qiyas yang dicari seorang mujtahid ialah persamaan illat dari dua peristiwa atau kejadian, sedang pada istihsan yang dicari ialah dalil mana yang paling tepat digunakan untuk menetapkan hukum dari satu perstiwa.
Dari 4 madzhab besar yang tekenal dan menyebar di seluruh negara ini, hanya Madzhab Syafi’i yang tidak memakai istihsan sebagai sumber hukum islam. Karena Imam Syafi’i menganggap bahwa mengambil dasar hukum istihsan itu adalah berdasarkan dengan hawa nafsu. Pendapat tersebut sangat ditentang oleh madzhab lainnya.
Dari keterangan-keterangan di atas istihsan bisa saja dijadikan dasar hukum. Terserah kta mau mengikuti yang mana. Apakah ikut madzhab yang sepakat (madzhab Maliki,Hanafi, Hambali) ikut madzhab yang tidak sepakat/menolak (madzhab Syafi’i). Yang penting kita harus meyakini terhadap  apa yang kita ikuti/anuti.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar