Senin, 09 Januari 2012

Hukum Nikah Pezina Dengan Yang Dizinainya Dan Dia Hamil



Ulama secara umum sepakat bahwa nikah dengan wanita yang hamil itu adalah haram hukumnya, baik hamilnya karena dari suaminya, dari tuannya ( bagi budak ), ataupun karena syubhat*. Adapun yang hamil karena zina, maka para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini, yaitu ada dua pendapat**:

1 . Madzhab Malikiyyah, Hanabalah, dan Abu Yusuf dari Hanafiyyah berkata, "Tiadak boleh menikahi pezina yang hamil sebelum dia melahirkan, baik dari yang mezinahinya maupun yang lainnya."
2 . Madzhab Syafi`iyyah dan Abu hanifah serta temannya Muhammad berkata, "Dibolehkan menikahi perempuan yang hamil disebabkan karena zina, dan tidak disyareatkan taubat untuk sahnya menikahi pezina menurut jumhur Fuqaha. Yang demikian itu boleh, tidak ada bedanya dalam hal tentang halal menikahinya, baik dari yang mezinainya maupun yang lainnya."

Sebab perbedaannya adalah tentang sah atau tidaknya akad nikah dengan perempuan hamil dari zina. Imam Amad, Malik, dan jumhur Ulama berpendapat bahwa akadnya batal, maka menikah dengan perempuan tersebut tidak boleh. Imam Syafi`I dan Abu Hanifah berpendapat bahwa akadnya sah, maka menikah dengan perempuan tersebut boleh.

Imam Nawawi dalam majmu` juz 15 mengatakan bahwa Hanafiyyah dan syafi`iyyah berpendapat bahwa perempuan yang hamil dari zina, maka bagi yang mezinainya itu halal untuk menikahinya, berhubungan badan dengannya, berhak mendapat nafkah, karena perempuan tersebut tidak termasuk perempuan- perempuan yang diharamkan untuk dinikahi, maka dia menjadi mubah dan boleh dinikahi. Mereka
berhujjah dengan Firman Allah, "Dan dihalalkan bagimu menikahi perempuan أ¢â‚¬â€œ perempuan yang lain dari pada itu." (An-Nisa: 24). Dan sabda Rasulullah saw., " Tidaklah yang haram itu menghalalkan yang haram." Madzhab Malikiyyah dan Hanabalah memberikan syarat- syarat yang ketat untuk bolehnya menikahi perempuan yang hamil dari zina, yaitu selesainya `iddah ( setelah melahirkan) dan Hanabilah menambah syarat lain, yaitu dia harus betul أ¢â‚¬â€œbetul bertaubat. Wallahu a`lam bish-shawab
--------------------------------------------------------------------------------
*Dari Kitab Zaadul Ma`aad :5/104
** Dari Zaadul Ma`aad :5/105, Mausu`ah Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, Mausu`ah Fataawaa Al Azhar


Larangan Nikah dengan Pelacur Atau Pezina

Syaikh Salim bin 'Ied al-Hilali   
Saturday, 31 January 2009
Allah SWT berfirman, "Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas oran-orang yang mukmin," (An-Nuur: 3).
Diriwayatkan dari Abdullah bin Amru r.a, bahwa Martsad bin Abi Martsad al-Ganawi adalah seorang laki-laki yang keras. Ia membawa tawanan dari Makkah ke Madinah. Ia berkata, "Aku membawa serta seorang laki-laki untuk menyertaiku. Dahulu di kota Makkah ada seorang pelacur yang bernama 'Anaq. Dan ia dahulu adalah pelanggannya. 'Anaq keluar dari rumahnya. Ia melihat bayanganku di tembok. Ia berseru, "Siapa itu? Martsad? Selamat datang marhaban, ahlan wa sahlan hai Martsad. Mari sini bermalam di tempatku" Aku (Martsad) berkata, "Hai 'Anaq, sesungguhnya Rasulullah saw. telah mengharamkan zina." 'Anak malah berteriak, "Hai penghuni kemah ini, ini ada duldul, dialah yang membawa tawanan kalian dari Makkah ke Madinah!"
Aku pun lari ke gunung Khandamah. Delapan orang mengejarku. Mereka menemukan tempatku dan berdiri tepat di atas kepalaku. Mereka mengencingiku dan kencing mereka tepat mengenaiku. Namun Allah menghalangi pandangan mereka terhadapku. Lalu aku pun menemui temanku tadi dan membawanya. Sesampainya di al-Araak aku membuka rantainya.
Kemudian aku menemui Rasulullah saw. dan berkata, "Wahai Rasulullah, bolehkan aku menikahi 'Anaq?" Rasulullah hanya diam saja. Lalu turunlah, "Dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina, atau laki-laki musyrik," (An-Nuur: 3).
Rasulullah memanggilku dan membacakan ayat tersebut kepadaku lalu beliau berkata, "Jangan nikahi dia!" (Hasan, HR Abu Dawud [2051] dan at-Tirmidzi [3077]).
Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a, ia berkata, Rasulullah saw. bersabda, "Pezina yang dihukum cambuk tidaklah menikah kecuali dengan orang yang sama sepertinya," (Shahih, HR Abu Dawud [2052]).
Kandungan Bab:
1.    Haram hukumnya seorang laki-laki yang baik-baik menikah dengan seorang wanita pezina atau pelacur. Demikian pula wanita yang baik-baik haram dinikahkan dengan seorang laki-laki pezina.
Asy-Syaukani berkata dalam kitab Nailul Authar (VI/28), "Tidak halal bagi seorang wanita dinikahkan dengan seorang laki-laki yang diketahui berzina. Demikian pula tidak halal bagi seorang laki-laki menikah dengan wanita yang diketahui berzina. Dalilnya adalah ayat yagn telah disebutkan di atas. Karena di akhir ayat tersebut Allah mengatakan, "Dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang beriman," (An-Nuur: 3).
2.    Sebagian ahli ilmu membawakan ayat dan hadits-hadits bab di atas terhadap orang yang memulai ikatan perkawinan dengan wanita pezina. Adapun bila wanita itu berzina setelah menjadi isterinya maka ia boleh meneruskan bahligai perkawinannya. Mereka berdalil dengan hadits Abdullah bin Abbas r.a, ia berkata, "Seorang laki-laki datang menemui Rasulullah saw. dan berkata, 'Sesungguhnya isteriku tidak menampik laki-laki yang menyentuhnya.' Rasulullah berkata, 'Ceraikanlah dia!' Ia berkata, 'Aku khawatir tak mampu berpisah dengannya." Maka Rasulullah berkata kepadanya, 'Kalau begitu, bersenang-senang sajanya dengannya'," (Shahih, HR Abu Dawud [2049]).
Saya katakan, Para ulama berbeda pendapat tentang makna perkataan laki-laki itu tentang isterinya, "Tidak menampik tangan yang menyentuh," menjadi beberapa pendapat: Ia mengikuti saja orang yang menghendaki dirinya dan tidak menampik tangannya. Ia tidak menampik orang yang mengulurkan tangan kepadanya untuk merasakan kenikmatan dengan merabanya, namun tidak bermaksud menyetubuhinya. Ia tidak menolak siapa pun yang meminta sesuatu kepadanya dari harta suaminya.
Tafsiran yang paling pantas diterima adalah tafsiran yang kedua. Jadi maknanya ia tidak menghindari hal-hal yang mendatangkan kecurigaan dan tidak menampik tangan orang yang menjamahnya karena keluguannya.
Namun asy-Syaukani dalam kitab Nailul Authar (VI/284) mengklaim bahwa ini merupakan pembatasan makna tanpa dalil.
Saya katakan berikut ini dalil-dalilnya:
a.    Kalaulah yang dimaksud oleh si suami bahwa isterinya adalah wanita pezina berarti ia telah menuduhnya berzina, maka wajib dilakukan mula'anah lalu keduanya dipisah. 
b.    Kalaulah yang dimaksud oleh Rasulullah saw. adalah membiarkan si isteri berzina maka artinya si suami adalah seorang dayyuts (mucikari). Dan mustahil Rasulullah membenarkan perbuatan maksiat itu. 
c.    Perintah Rasulullah kepada seorang laki-laki yang memiliki isteri yang buruk akhlaknya supaya menceraikannya.
Semua itu menguatakan kebenaran pendapat yang kedua, wallahua'lam. Aku telah bertanya kepada guru kami, Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Bani tentang masalah ini. Lalu aku menyebutkan perincian di atas dan beliau menyetujuinya.
Ibnu Katsir berkata dalam Tafsir al-Qur'anil 'Adzim (III/274), "Ada yang mengatakan bahwa maksudnya adalah tabi'at wanita itu tidak menolah tangan yang menyentuhnya. Bukan maksudnya hal itu benar-benar terjadi dan ia melakukan perbuatan zina. Karena Rasulullah saw. tidak akan mengizinkannya bersanding dengan wanita yang seperti itu sifatnya. Dan jika demikian keadaannya maka si suami tergolong dayyuts. Dan tentang para suami yang dayyuts telah disebutkan ancamannya. Akan tetapi karena tabiat seperti itu yang tidak menolak dan menampik orang yang menghendakinya sekiranya ia bersendiri dengan orang lain maka Rasulullah saw. memerintahkan supaya menceraikannya. Namun ketika ia menyebutkan bahwa ia mencintai isterinya itu, maka Rasulullah saw. membolehkan untuk tetap bersamanya. Sebab cintanya kepada si isteri sudah pasti, sementara jatuhnya si isteri dalam perbuatan keji masih sebatas kemungkinan. Tentunya kita tidak memilih mudharat yang sudah pasti karena adanya mudharat yang belum pasti, wallahua'lam."
Berdasarkan hal itu, maka perkataan al-Baghawi dalam Syarah Sunnah (IX/288), "Sabda Nabi, 'tahanlah dia' merupakan dalil bolehnya menikahi wanita fajirah (wanita yang tidak baik), meskipun pilihannya bukan itu. Dan ini merupakan pendapat ahli ilmu. Kemudian beliau menguatkan ayat dalam surat an-Nuur dengan kesimpulan tersebut."
Perkataan al-Baghawi ini jelas keliru bagi orang yang menilitinya, alasannya sebagai berikut:
d.    Sabda Nabi, 'Tahanlah dia' tidak menunjukkan kepada kesimpulan yang disebutkan tadi kecuali bila diartikan menurut pendapat yang pertama. Dan telah jelas kelemahan pendapat yang pertama. 
e.    Mengaitkan ayat dalam surat an-Nuur dengan kejadiannya dan sebab turunnya ayat saja adalah tertolak, karena yang menjadi ukuran adalah kandungan umum suatu lafadz bukan sebab khususnya sebagaimana telah ditegaskan dalam kaedah ushul fikih. 
3.    Said bin al-Musayyib berpendapat bahwa ayat tersebut manshukh. Namun penghapusan hukum tidak dapat dilakukan atas dasar praduga belaka. Sebab turunnya ayat tersebut menguatkan pendapat yang mengatakan bahwa muhkam tidak mansukh dan pendapat inilah yang benar, wallahua'lam.
Sumber: Diadaptasi dari Syaikh Salim bin 'Ied al-Hilali, Al-Manaahisy Syar'iyyah fii Shahiihis Sunnah an-Nabawiyyah, atau Ensiklopedi Larangan menurut Al-Qur'an dan As-Sunnah, terj. Abu Ihsan al-Atsari (Pustaka Imam Syafi'i, 2006), hlm. 3/33-37.
Terakhir kali diperbaharui ( Saturday, 31 January 2009 )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar