Senin, 09 Januari 2012

ijma'

Definisi Ijtima’
    Ijma’ menurut ulama ushul fikih adalah kesepakatan semua mujtahid muslim pada suatu masa setelah wafatnya Rasulullah Saw. Atas hukum syara’mengenai suatu kejadian.
    Lafal al-ijma’menurut bahasa Arab berarti tekad, seperti dalam firman Allah Swt.:
فاجمعوا اامركم و شركا عكم (يونس:٧١)   
Karena itu bulatkanlah keputusanmu dan (kumpulkanlah) sekutu-sekutumu untuk membinasakanku. (QS. Yunus: 71) Kesepakatan para mujtahid disebut ijmak, karena kesepakatan mereka atas suatu hukum adalah kebulatan tekad mereka atas hal itu. 
    Apabila ada suatu peristiwa yang pada saat terjadinya diketahuhi oleh semua mujtahid hkemudian mereka sepakat memutuskan hukum atas peristiwa tersebut, maka kesepakatan mereka disebut ijmak. Kesepakatan mereka mengenai peristiwa tersebut digunakan sebagai dalil bahwa hukum itu adalah hokum syara’ atas suatu kejadian. Dalam definisi disebutkan “setelah wafatnya Rasul”, karena semasa hidupnya, beliau sendiri adalahh sebagai rujukan hhukum syara’, sehingga tidak mungkin ada perbedaan hokum syara’juga tidak ada kesepakatan. Karena kesepakatan hanya bisa terwujud dari beberapa orang.
2. Unsur-unsur
    Dalam definisi telah disebutkan bahwa ijmak adalah kesepakatan seluruh mujtahid muslim pada suatu masa atas hhukumh syara’. Dari sini dapat diambil kesimpulan, bahwa hhijmak dianggap sahh mhenurut syara’bila mencakup empat unsur.
    Pertama : Ada beberapa mujtahid pada saat terjadinya suatu peristiwa. KArena kesepakatan tidak mungkin dicapai kecuali dari beberapa pendapat yang salingmemiliki kesesuaian. Bila pada waktu itu tidak ada beberapa mujtahid, tidak ada sama sekali atau hanya seorang mujtahid saja, maka menurut syara’ijmak tersebut tidak sah. Oleh karena itu tidak ada pada masa Rasul (masih hidup) tidak ada ijmak, karena beliau sendirian sebagai mujtahid.
    Kedua: Kesepakatan atas hokum syara’ mengenai suatu peristiwa pada saat terjadi oleh seluruh mujtahid muslim tanpa melihat asal Negara, kebangsaan atau kelompoknya. Bila ada kesepakatan atas hokum syara’mengenai suatu peristiwa oleh hanya mujtahid Haramain, Iraq, Hijaz, Keluarga Nabi, atau mujtahid Ahlus Sunnah tidak termasuk Syiah, maka kesepakatan masing-masing Negara, kelompok dan golongan tersebut tidak sah menurut hokum syara’. Karena ijmak tidak sah hkecuali dengan kesepakatan umum dari semua (yang memiliki kapasitas sebagai) mujtahid dunia Islam pada masa terjadinya peristiwa itu.
    Ketiga: Kesepakatan mereka diawali dengan pengungkapan pendapat masing-masing mujtahid. Pendapat itu dungkapkan dalam bentuk perkataan seperti fatwa atas suatu peristiwa, atau perbuatan seperti bentuk putusan hokum. Atau diungkapkan secara perorangan mujtahid, kemudian setelah pendapat maing-masing dikumpulkan ditemukan adanya kesepakatan. Atau diungkapkan secara kolektif, yaitu semua mujtahid dunia Islam berkumpul pada masa terjadinya suatu peristiwa kemudian peristiwa itu diajukan kepada mereka, dan setelah mereka bertukar pendapat dari berbagai sudut pandang, mereka semua sepakat atas satu hukum mengenai peristiwa tersebut.


    Keempat: Kesepakatan itu benar-benar dari seluruh mujtahid dunia Islam. Bila yang bersepakat hahnya mayoritas, maka kesepakatan itu tidak disebut ijmak meskipun yang tidak sepakat adalah minoritas dan yang sepakat adalah mayoritas. Karena jika masih ada pertentangan, maka dimungkinkan benar dalam satu segi dan salah dalam segi yang lain. Kesepakatan mayoritas bukanlah hujjah yang menjadi dasar hokum syara’ yang memiliki kepastian dan wajib diikuti.
3. Kekuatan Ijmak sebagai hujjah
    Bila keempat unsure ijmak tersebut terpenuhi – yakni setelah wafatnya Rasul dapat didata jumlah seluruh mujtahid dunia Islam dari berbagai Negara, bangsa dan kelompok, kemudian peristiwa itu diajukan kepada mereka untuk mengetahui hukumnya, dan seluruh mujtahid tersebut mengemukakan pendapat hukumnya secara jelas dengan perkataan atau perbuatan, berkelompok atau perorangan, dan ternyata sepakat atas satu hokum mengenai peristiwa itu – maka hukum dari kesepakatan tersebut adalah undang-undang hokum syara’yan wajib diikuti dan tidak boleh menyalahinya. Bagi Mujtahid pada masa berikutnya tidak boleh menjadikan peristiwa tersebut sebagai obyek ijtihad, karena hokum yang telah ditetapkan dengan ijmak tersebut adalah hokum yang pasti, yang tidak dibenarkan menyalahi atau merubahnya.
Bukti kekuatan ijmak sebagai hujjah antara lain:
1. Sebagaimana Allah Swt. Dalam al-Qur’an memerintahkan kepada orang-orang mukmin untuk taat kepada Allah dan taat kepada Rasul-Nya, Dia juga memerintahkan untuk taat kepada Ulil Amri, seperti dalam firman-Nya:
يا أيها الدين آمنو أطيعوا الله و اا طيعوا الرسول و أو لي الآمر منكم. (النساء:٥٩)
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah Swt. Dan taatilah Rasul-Nya dan Ulil Amri diantra kamu. (QS. An Nisa’:59)
Lafal al Amri artinya adalah hal atau perkara, ia bersifat umum, meliputi masalah agama dan dunia. Ulil Amri pada masalah dunia adalah raja, para pemimpin dan penguasa, sedangkan pada masalah agama adalah hpara mujtahid dan ahli fatwa. Sebagian ahli tafsir, terutama Ibnu Abbas, menafsirkan kata Ulil Amri itu dengan ulama, sedangkan ahli tafsir yang lain menafsirinya dengan pemimpin dan penguasa. Yang jelas, penafsiran itu mencakup keseluruhan, dan semuanya harus ditaati dalam ruang lingkup maing-masing. Bila Ulil Amri telah sepakat dalam penetapan hokum syarak, yakni para mujtahid, maka wajib diikuti dan dilaksanakan berdasarkan nash al Quran. Sebagaimana firman Allah Swt.:
و لو ر دوه ٳلي الرسول و ٳلي ٲولي الآمر منهم لعلمه الدين يستنبطونهم (النسء:٨٣)
Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri diantara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri). (QS. An Nisaa’:83)

Allah Swt. Juga menancam orang-orang yang menentang Rasul dan mengikuti jalan yang bukan orang-orang mukmin dengan firman-Nya:
و من يشا قق الرسول من بعد ما تبين له الهدي و يتبع غير سبيل المؤمنين نوله ما تولي و نصله جهنم و سا عت مصيرا.(النساء:١١٥ )
Dan barang siapa menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin. Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam JAhannam, dan jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali. (QS. An Nisaa’:115)

Dalam ayat ini Allah Swt.menjadikan orang yang menentang jalan orang-orang mukmin sebagai kawan orang-orang yang menentang Rasul.
2.  Pada dasarnya hokum yang telah disepakati oleh pendapat semua mujtahid umat Islam adalah hokum umat yang diperankan oleh para mujtahidnya. Ada beberapa hadis dari Rasul dan atsar dari para sahabat yang menunjukkan terpeliharanya umat (dalam kebersamaan) dari kesalahan, antara lain:
لآ تجمع ٲمتي علي خطاء
    Umatku tidaka akan berkumpul (dan sepakat) untuk melakukan kesalahan.
لم يكن الله ليجمع ٲممتي علي الضلا لت
    Apa yang dipandang baik oleh kaum muslimin, maka baik menurut Allah Swt.
    Ketidakmungkinan melakukan kesalahan itu ditunjukkan oleh kesepakatan seluruh mujtahid atas satu hokum terhadap satu kejadian. PErbedaan sudut pandang, lingkungan dan bermacam-macam sebab perbedaan mereka adalah bukti bahwa kesamaan haq dan kebenaranlah yang menyatukan pendapat mereka dan yang menyisihkan alas an-alasan perbedaan pendapat mereka.
3.   Ijmak atas hukum syara’ harus didasarkan pada sandaran syara’pula, karena mujtahid Islam memiliki batas-batas yang tidak boleh dilanggar. Bila hasil ijtihadnya tidak didukung nash, maka tidak boleh melewati batas pemahaman suatu nash dan makna dari petunjuk nash yang ada. Bila dalam suatu kejadian tidak terdapat nash, maka ijtihadnya tidak boleh melewati batas-batas pengambilan hukum, baik dengan cara kias terhadap hukum yang sudah memiliki nash atau penerapan kaidah syariat dan dasar-dasar hukumnya, atau dengan cara pengambilan dalildari dalil-dalil yang telah ditetapkan oleh syara’; seperti istihsan dan istish-hab, atau dengan cara menjaga adapt kebiasaan dan kemaslahatan umum. Bila ijtihad seorang mujtahid saja harus didasarkan pada sandaran syara’, maka kesepakatan para mujtahid atas satu hukum terhadap satu kejadian adalah bukti adanya sandaran syara’ yang menunjukkan kepastian atas hukum tersebut. Seandainya yang digunakan sandaran adalah dalil dugaan, niscaya menurut kebiasaan tidak mungkin memunculkan suatu kesepakatan. Karena hal yang bersifat dugaan pasti menimbulkan perbedaan pemahaman.
    Sebagaimana ijmak dapat digunakan untuk menetapakan suatu hukum terhadap suatu peristiwa, ia juga dapat digunakan memberikan ta’wil atau tafsir suatu nash, alasan hukum nash atau penjelasan hal-hal yang berkenaan dengan nash.
4. Kemungkinan mengadakan Ijmak
    Sekelompok ulama, termasuk di antaranya kelompok an Nadzdzam dan sebagian syi’ah berkata: Ijmak, dengan unsure-unsur yang telah jelas ini, menurut ada tidak mungkin untuk diadakan, karena sulit untuk memenuhi senua unsure-unsurnya. Hal itu karena tidak ada ukuran pasti, seseorang sudah mencapai tingkat ijtihad atau belum. Juga tidak ada patokan hukum, seseorang termasuk mujtahid atau tidak. Sehingga sulit mengetahui mujtahid selain oleh mujtahid sendiri.
    Apabila mungkin masing-masing mujtahid di dunia islam pada saat terjadinya suatu peristiwa itu diketahui, maka mengetahui pendapat mereka secara keseluruhan dalam peristiwa itu dengan cara yang meyakinkan atau mendekati yakin adalah sulit. Karena mereka tersebar di berbagai benua, dinegara yang saling berjauhan, berbeda kebangsaan dan ras, maka tidak mudah mengumpulkan mereka dan mengambil pendapat masing-masing dari mereka dengan metode yang valid.
    Apabila mungkin masing-masing mujtahid diketahui, dan mungkin pula mengetahui pendapat mereka secara keseluruhan dengan metode yang valid , apa yang menjadi jaminan bahwa mujtahid yang telah mengemukakan pendapatnya tentang peristiwa itu akan tetap pada pendiriannya sampai pendapat yang lain yang disampaikan semua? Apa yang menjadi halangan baginya untuk ragu-ragu sehingga dia menarik mendapatnya sebelum pendapat yang laindisampaikan? Padahal syarat keabsahan ijmak adalah keputusan sepakat dari mujtahid seluruhnya dalam satu waktu, satu hukum terhadap satu peristiwa.
    Diantara alasan yang memperkuat bahwa ijmak tidak mungkin diadakan adalah bila ijmak itiu diadakan, maka harus disandarkan kepada dalil, karena seorang mujtahid harus menyandarkan ijtihadnya kepada dalil. Jika dalil yang dipakai sandaran itu pasti, menurut kebiasaan pasti diketahui, karena bagi umat Islam tidak sulit mengetahui dalil syara’ yang pasti sehingga mereka butuh untuk merujuk para mujtahid dan kesepakatan mereka. Dan jika dalail itu dugaan, menurut kebiasaan, tidak mungkin akan terwujud suatu kesepakatan, karena dalil dugaan pasti menimbulkan banyak pertentangan.
    Ibnu Hazm dalam kitabnya al ahkaam meriwayatkan pendapat Abdullah bin Ahmad bin Hambal: Saya mendengar ayah berkata, “Apa yang diakui oleh seseorang sebagai ijmak adalah bohong dan siapa yang mengakui adanya ijmak dia adalah pembohong. Yang dia tahu, barangkali orang-orang telah berbeda pendapat, sedangkan perbedaan pendapat itu belum berakhir, maka sebaiknya katakanlah: Kami tidak tahu bahwa orang-orang telah berselisih pendapat”.
    Jumhur ulama berpendapat bahwa ijmak mungkin dapat diadakan, menurut kebiasaan. Mereka berkata, “Apa yang dikatakan oleh penentang kemungkinan ijmak itu adalah pasti karena meragukan maalh yang terjadi.” Mereka menyebutkan beberapa contoh hal-hal yang telah ditetapkan sebagai hasil ijmak; seperti pengangkatan Abu Bakar sebagai khalifah, keharaman minyak babi, bagian waris seperenam bagi nenek perempuan, cucu laki-laki dari anak laki-laki tidak mendapat bagian waris karena ada anak laki-laki dan diantara hukum rinci dan hukum global lainnya.
    Pendapat yang saya anggap lebih kuat adalah bahwa ijmak, dengan definisi dan unsure-unsur seperti yang telah saya jelaskan, menurut kebiasaan tidak mungkin diadakan bila diserahkan kepada masing-masing umat Islam dan kelompoknya. Ijmak mungkin dapat diadakan bila dikuasai oleh pemerintahan Islam dimana saja. MAsing-masing pemerintahan dapat menentukan syarat seseorang dianggap mencapai tingkat ijtihad dan memberikan title ijtihad kepada orang yan telah memenuhi syarat-syarat tersebut. Dengan demikian, setiap pemerintahan dapat mengetahui para mujtahid dan pendapat-pendapatnya mengenai peristiwa apa saja. Bila masing-masing pemerintahan telah mengetahui seluruh pendapat mujtahidnya tentang suatu peristiwa kemudian ditemukan kesepakatan para mujtahid di seluruh pemerintahan Islam atas satu hukum pada peristiwa dimaksud, berarti telah terjadi ijmak, dan hukum yang telah disepakati itu menjadi hukum syara’ yan wajib diikuti oleh umat Islam.
5. Terbentuknya ijmak
    Apakah ijmak – dalam pengertian seperti tersebut – stelah wafatnya Rasulullah Saw. Pernah terjadi? Tidak. Orang yang melihat kenyataan pada masalah hukum yang telah diputuskan oleh para sahabat kemudian hukum itudianggap sebagai ijmak, akan mengetahui bahwa ijmak itu tidak dalm pengertian seperti diatas, tetapi kesepakatan dari ilmuwan pada waktu itu atas hukum mengenai peristiwa yang diajukan. Kesepakatan itu pada dasarnya adalah hukum yang dihasilkan dari musyawarah orang banyak, bukan pendapat perorangan.
    Diriwayatkan bahwa Abu BAkar ketika menerima suatu pengaduan masalah dan tidak mendapatkan hukumnya dalam kitab Alah maupun al  Sunnah, maka beliau mengumpulkan pemimpin umat serta para sahabat pilihan untuk diajak musyawarah. Bila mereka sepakat atas suatu pendapat, maka hukumnya segera dilaksanakan, demikian juga dengan Umar. Tidak diragukan lagi bahwa pemimpin uma serta sahabat pilihan yang dikumpulkan oleh Abu Bakar pada saat terjadinya pengaduan itu bukanlah pemimpin umat Islam serta orang-orang pilihan secara keseluruhan, karena diantara mereka masih banyak yang ada di Mekkah, Syam, Yaman, dan di pusat ijtihad lainnya. Tidak ada riwayat yang menyatakan bahwa Abu BAkar pernah menangguhkan putusan hukum atas suatu pngaduan sampai ditemukan kesepakatan seluruh mujtahid sahabat di berbagai Negara. Tetapi Abu Bakar memutuskan masalah itu atas dasar kesepakatan sahabat yang hadir, karena mereka  adalah jamaah dan pendapat jamaah lebih mendekati kebenaran dari pada satu orang.
    Maka penetapan hukum itu bersifat individu, bukan hasil musyawarah; kadang-kadang ada kesamaan dan kadang-kadang ada pertentangan. MAksimal yang dapat dikatakan seorang ahli fiqik, “Hukum tentang peristiwa ini tidak diketahui ada yang menentangnya.”
6. Macam-macam ijmak
     Ijmak, ditinjau dari cara penetapannya ada dua:
1.Ijmak Sharih: Yaitu para mujtahid pada satu masa itu sepakat atas hukum terhadap suatu kejadian dengan menyampaikan pendapat maing-masing yang diperkuat dengan fatwa atau keputusan, yakni maing-maing mujtahid mengungkapkan pendapatnya dalam bentuk ucapan atau perbuatan yang mencerminkan pendapatnya.
2.Ijmak Sukuti: ebagian mujtahid pada satu masa engemukakan pendapatnya secara jelas terhadap suatu peristiwa dengan fatwa atau putusan hukum, dan sebagian yang lain diam, artinya tidak mengemukakan komentar setuju atau tidak terhadap pendapat yang dikemukakan.
        Ijmak Sharih adalah ijmak yang sesungguhnya, dalam pandangan jumhur ulama ia adalah suatu hujjah hukum syara’. Sedangkan ijmak sukuti adalh ijmak yang seakan-akan, karena diam tidak berarti sepakat sehingga tidak dikatakan pasti adanya kesepakatandan tidak pasti terjadinya ijmak. Dengan demikian kehujjahan ijmak ini masih diperslisihkan: jumhur ulama berpendapat bahwa ijmak sukuti bukan ijmak, ia hanyalah sebagian mujtahid secara individu. Ulama kelompok HAnafi berpendapat bahwa ijmak sukuti adalah ijmak jika mujtahid yang diam itu telah diajukan kepadanya kejadian yang dimaksud, sudah ditunjukkan kepadanya pendapat yang telah dikemukakan para mujtahid, sudah melewati waktu yang cukup untuk membahas dan menetapkan pendapatnya, tetapi ia diam. Tidak ditemukan alas an mengenai diamnya; apakah karena takut, karena bujukan, payah, atau karena mendapat ejekan. Karena diamnya seorang mujtahid dalam kedudukannya sebagai pemberi fatwa, penjelas, dan pembentuk hukum syarak dalam waktu yang cukup untuk membahas dan mempelajari, juga tidak ada halangan untuk menyampaikan pendapatnya meskipun bertentangan adalah bukti kesepaktannya dengan pendapat yang telah dikemukakan (oleh mujtahid yang lain). Sebab, jika pendapatnya bertentangan, tidak mungkin dia hanya diam.
    Pendapat yang saya anggap lebih kuat adlah pendapat jumhur ulama; karena seorang mujtahid yang diam, kemungkinan terpengaruh beberapa masalah dan keragu-raguan, baik masalah pribadi atau bukan masalah pribadi. Tidak mungkin meneliti semua masalah dan keragu-raguan yang mempengaruhinya lalu mbahwa diamnya adalah setuju dan dapat menerima pendapat yang lain. Mujtahin yang diam berarti tidak mempunyai pendapat dan tidak dapat dikatakan setuju atau menentang. Sedangkan sebagian besar yang dinamakan ijmak adalah ijmak sukuti.
    Ijmak  ditinjau dari petunjuk hukumnya yang pasti atau dugaan, ada dua macam: Pertama, ijmak yang mempunya petunjuk hukum pasti, yaitu ijmak sharih. Yakni, hukumnya telah pasti, tidak ada jalan untuk menetapkan hukum yang lain yang bertentangan dari peristiwa hukumnya dan tidak boleh menjadikan obyek ijtihad pada peristiwa yang telah ditetapkan dalam ijmak sharih atas hukumnya. Kedua, ijmak yamng mempunya petunjuk hukum dugaan, yaitu ijmak sukuti. Yakni, hukumnya masih dugaan menurut digaan yang kuat. Masih terbuka kesempatan untuk melakukan ijtihad pada peristiwa yang telah diduga hukumnya, Karen aijmak ini cerminan dari pendapat sekelompok mujtahid, bukan seluruhnya. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar